Senin, 05 September 2022

 



https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.tnbukitduabelas.id%2Forang-rimba&psig=AOvVaw1VIDI7Mzu_OAvvR09G8inM&ust=1675703965902000&source=images&cd=vfe&ved=0CBAQjRxqFwoTCOjVvfHx_vwCFQAAAAAdAAAAABAE


Sepotong Dewa Berserak di Kuali

(Nadia Putri Rahayu XII IPS 1)

 

        Rinai melepas, pucat. Hutan setengah gundul bersembunyi bawah kabut yang lembab. Satu-dua turun dari atas terpal. Kalau sudah begini mereka diam, bukan main derasnya. Keroncong itu bernyanyi dalam rongga, bukan cacing tapi hanya degungan guntur. Bau melorot, menghunus dua lubang hitam. Budak-budak berjuntai seraya menatap batangan ringkih. Angin meraup.

        Tubuh merinding, bulu kuduk menengang, merengkuh badan berkancut. Rambut keriting bergerincak kutu durjana. Muka tempias oleh air, mereka tetap duduk bergelayut. Mamak-mamak bergumul di tanggul besar, ikut berlindung bawah terpal biru. Dari jauh anjing menyalak, berlari, menyobek derainya rinai. Salah seorang berkancut ikut berpongah di antara lebih orang.

        Muka mereka tertekuk, menyernyit oleh deburan air. Melihat keadaan mereka sepertinya buruan kali ini tak membuahkan hasil. Semenjak pembalakan yang mencukur, mengkropos sebagian hutan yang dulunya di kenal guna lahan terbuka, hunian, atau PETI yang merebahkan setiap batangan selayar pegulat paling tangguh, paling angkuh. Perburuan kian melompong, terkadang dapat satu, pernah pula bawa angin garing. Mulai sukar mencari makanan. Tak semudah dulu yang baru lepas satu anak panah rebah satu kijang atau babi hutan terkena racun. Buah dan sayuran pun ikut langka tak seperti dulu yang tinggal menyibak rumpunan semak dapat sekarung jamur dan sebagainya.

        Seorang budak melompong, mukanya ikut tempias, ngilu menyeruak. Matanya mengeresot, menahan perih. Ketika gumulan itu kian mendekat tubuhnya menengadah, penasaran. Namun kemudian helaan berat keluar dari mulutnya, kembali melempoh bersama budak jember (kotor) lainnya. Mamak-mamak menggerutu, lihat hasil tangkapan tak memuaskan. Pergi pagi-pagi, pulang larut bawa wajah kosog. Batal masak, terpaksa kunci perut sehari. Helaan kecewa mengabur pula di antara budak dan bapak.

        Redup kornea itu, kembali merengkuh tubuh. Kulit jember berbasah-basahan, sehelai carik yang terbungkus tak sesuai untuk setubuh. Sebelah tangannya menampung air yang turun, meresapi  sejuk  dan  menikamnya  itu.  Bapak-bapak  dan  pemuda tanggung mengikat

 

anjingnya pada salah satu tanggul yang juga terlindung dari hujan, duduk bersama kawanan lain. Tubuhnya yang kecoklatan mulai membeku, terlalu lama berjimak dengan angin dan hutan yang entahlah di sebut hutan.

        Air mulai mengalir di bawah panggung terbuka berukuran kecil mirip gubuk namun tak berdinding, hanya terlindung oleh terpal yang keempat sisinya di ikatkan pada batangan pohon yang tersisa. Nenek mengepul asap, bersaing dengan pemuda dan bapak-bapak, sekedar lintingan tembakau kering tanpa bumbu penyedap. Tak jarang mereka bersua dengan masyarakat yang menyadap karet atau menimbang jangjangan, mengutip serakan brondol muda. Tempat mereka terang, tersibak publik, siapa saja yang melintas dapat dengan bebas melihat mereka yang berkancut, kutang jamuran berenda. Bila dulu cahaya kehijauan terbias daun dan ranting-ranting, menyembunyikan sosok, kini hutan itu bercelah. Mengangga.

        Rindu benar hati mereka, sama pula dengan Kantap, budak yang duduk melompong, yang rindu akan tanggul-tanggul dan kicauan burung, desau ular, bisingan kumbang, gemeletuk kulit kayu kering, pongahan simpai bergajul yang menghidupkan pohon-pohon di pagi berkabut. Dengusan babi hutan, auman dewa mereka, harimau.

        Air dalam telapak tangan mulai melembak, tumpah ruah, mengenai lengan. Bukan alunan keroncong di perut bukan pula kelabu yang menumpahkan lahar yang membuatnya diam. Hanya saja kesepian itu mulai menggerayangi sosoknya, mengantarnya pada neraka. Dia percaya pada sosok dewa namun dewa itu lenyap entah berlabuh kemana, bagaimana nasibnya.

        Menahan tangis.

        Dewa itu yang menjaga hutan, melindungi mereka, memberi berkah, seperti Bapa. Sosok tangkas dengan auman yang di percaya dapat menyibak reranting lebat daun Bermuda, gagah melempar mereka, mencabik mereka yang merusak. Dewa itu ikut lenyap. Kalau sudah begini bencana kian menjadi, kiamat meluluh-lantak, dewa murka.

Bapak duduk di sebelahnya, merangkul bahu yang dingin. Sebagian nenek menginang, memuntahkan cairan merah dari mulutnya, kembali mengunyah, yakin hal itu sebagai bentuk kecantikan dan kesehatan, diikuti oleh mamak-mamak.

 

 

        “Besok kito nak makan” ujar bapak seraya tersenyum.

*******

        Dingin memburu, di antara batangan lembab, tanah-tanah merah melorot, air keruh pekat tergenang dalam kubangan. Tetesan air bergayut pada ujung dedaunan, rumpunan, reranting. Serangga satu-dua bernyanyi pilu, merong-rong, sebab rumah tak kenal tempat pulang tak punya. Pemuda dan bapak berkancut itu melepas anjing, ikut tergopoh, teriak, anjing menyalak.

        Mentari rupawa dewa belum jua menyembul, ayam hutan belum jua berkokok,  langit lazuardi bersih masih menggelap. Api kecil meliuk-liuk, mamak menambah kayu setengah basah ke dalamnya. Api bergemeletuk, meretak, menjilat-jilat, membumbung lantas kembali mengecil, abu terbang. Kantap kembali merenung, melompong seraya nanar.

        Di tangkupnya telapak tangan kecil itu, berdoa pada dewa. Bukan tentang hasil yang akan dia makan nanti melainkan berdoa untuk dewa yang mereka agungkan. Lamat-lamat mentari merangsek, menyorot tepat pada celah batangan. Satu-dua penyadap karet beraktivitas, motor berkoar, seolah kesal sebab harus memapah di kelokan becek bergulat dengan liat dodol tanah.

        Mamak siap mengajak budaknya membasuh diri sekedar menyapu tubuh dengan air dan menggosoknya. Gadis-gadis muda menyibak sarung sedang mereka yang sudah dewasa, sudah menikah menaikan tali kutang yang melorot.

*******

        Kantap kembali mengasingkan diri, duduk melompong di bawah terpal, menatap langsung kearah utara hutan yang sebagian menjelma, terganti pepohonan yang di sadap, di tampung getahnya, di jual. Matahari tepat di atas ubun, tidak terik, tidak juga mendung, sedang saja. Budak lainnya bergerincak meski genderang kian melilit, meng-guilotin.

        Dari jauh terdengar nyalakan anjing, berlari, saling berlomba seakan berebut hendak menyampaikan kabar bahagia dari sang maha pencipta. Semua kepala tengadah, Kantap ikut menoleh. Para lelaki  pulang dini,  melambai, di belakangnya  buntelan   karung  di  gunggung

 

 

bersama seakan itu berat sangat. Semua berkoar ria, mereka tahu dewa telah menurunkan rezekinya.

        Anjing-anjing tiba lebih dulu, lidahnya menjulur keluar-masuk, tidak sabaran. Ketika karung di buka, semua terdiam, ya dewa apa gerangan sehingga sumringah menebar. Anak keturunan akan menerima bala, murka para dewa, sengsara hidup kian melarat, neraka mulai menunjukan jurang, dunia gelap kian merengkuh, budak meringis ketakutan, rasa lapar merobohkan. Kantap mematut, netranya kopong. Serasa ada timah yang melubangi jelu. Sedikit bergetar, mamak-mamak membawa serta hewan buruan tersebut untuk disiangi.

        Mereka bergumul, melingkar. Tepat di atas talas daging yang di bakar seadanya tersaji, para tetua dan orang dewasa mulai melahap, mencuil daging tersebut. Namun Kantap tidak ikut makan, tidak juga menyentuhnya. Dia hanya beriba, menahan derai. Hatinya berkecamuk, seakan dibanting, digampar oleh kenyataan pahit. Lihat dewa mereka kembali, seekor harimau dengan auman gagah itu terbaring. Dewa mereka, kepercayaan mereka, hewan suci terpaksa dikonsumsi olehnya sebab tak ada pilihan.

        Bila sudah begini siapa lagi yang akan melindungi mereka dari kepunahan? Bapa mereka sudah dimakan, diambil dagingnya. Satu-dua mamak makan menahan perih, dalam hati berdoa untuk keselamatan mereka. Kantap hanya menatap lekat pada budak lainnya yang makan sedikit terpaksa sebab sudah berhari keroncong mengikis dinding lambung, perih. Dia berpikir, “Macam mano biak kami endak kekurangan makanan? Ya dewa tangguh maafkan kanti, mamak, bapak.”

        Kantap berdiri, membuat mereka ikut tengadah. Dia meringis, meraih tulang harimau itu.

        Endak adokah caro biak kito tetap memegang teguh kepercayaan, setia kepado dewa, bukannyo memakan? Contohnyo bertanam macam mereka  ujar Kantap menahan derai. Tetua terlihat bersungut.

        Endak biso, kito ko tinggal berpindah tempat endak mungkin biso bertanam” Kantap terdiam, uratnya menegang. Sebagian menunduk, mengelus daging dewa mereka.

        Kato dio negeri ko makmur, tanam apo be tumbuh. Itu memang tradisi tapi apo salahnyo kito mencubo untuk  mengganti  daging  buruan  dengan  yang lain.  Dewa  murka,

 

 kiamat akan menelan, nerako mengango. Biadab mereka, kejam” Kantap kian menjadi, kini meraung, tidak tega Bapanya dimakan, dicerna. Marah kepada Nagara, kepada mereka yang mengatakan Indonesa makmur, nyatanya mereka mulai terpojok, punah, bahkan terpaksa memakan dewa sendiri akibat kebringasan dan kerakusan mereka manusia bertitle sarjana, berilmu tinggi.

        Tetua itu terdiam, tidak tahu harus berujar apa. Kantap sesenggukan, meraung, luluh lantak, dijejaknya tulang itu ke permukaan dahi. Jelu menikam, darah muncrat dari luka yang kian menganga. Salah satu budak meletakkan kembali sepotong daging itu, tidak enak hati untuk melanjutkan.

        “Kito cari batang ubi kayu dan pisang. Mulai mencubo, semoga dewa selalu menyertai, maafkan kito kanti basamo” Kantap terdiam, tangisnya membumbung.

        Salah seorang pemuda menggali lubang dengan kayu runcing, menguburkan dewa mereka, berharap tanah subur oleh siraman berkah. Kerakusan itu menjilat mereka, mengantar pada tubir jurang. Dalam hati Kantap berdoa, auman itu dapat dia dengar meski jauh jaraknya. Mamak, Bapak, Tetuo mematut mangut. Entah akan berdiam atau kembali menyeruak belukar liar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Sastra

Kalian dalam Sebuah Episode