https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.tnbukitduabelas.id%2Forang-rimba&psig=AOvVaw1VIDI7Mzu_OAvvR09G8inM&ust=1675703965902000&source=images&cd=vfe&ved=0CBAQjRxqFwoTCOjVvfHx_vwCFQAAAAAdAAAAABAE
Sepotong Dewa Berserak
di Kuali
(Nadia Putri
Rahayu XII IPS 1)
Rinai melepas, pucat. Hutan setengah
gundul bersembunyi bawah kabut yang lembab. Satu-dua turun dari atas terpal. Kalau
sudah begini mereka diam, bukan main derasnya. Keroncong itu bernyanyi dalam
rongga, bukan cacing tapi hanya degungan guntur. Bau melorot, menghunus dua
lubang hitam. Budak-budak berjuntai seraya menatap batangan ringkih. Angin
meraup.
Tubuh merinding, bulu kuduk menengang,
merengkuh badan berkancut. Rambut keriting bergerincak kutu durjana. Muka
tempias oleh air, mereka tetap duduk bergelayut. Mamak-mamak bergumul di
tanggul besar, ikut berlindung bawah terpal biru. Dari jauh anjing menyalak,
berlari, menyobek derainya rinai. Salah seorang berkancut ikut berpongah di
antara lebih orang.
Muka mereka tertekuk, menyernyit oleh
deburan air. Melihat keadaan mereka sepertinya buruan kali ini tak membuahkan
hasil. Semenjak pembalakan yang mencukur, mengkropos sebagian hutan yang
dulunya di kenal guna lahan terbuka, hunian, atau PETI yang merebahkan setiap
batangan selayar pegulat paling tangguh, paling angkuh. Perburuan kian
melompong, terkadang dapat satu, pernah pula bawa angin garing. Mulai sukar
mencari makanan. Tak semudah dulu yang baru lepas satu anak panah rebah satu
kijang atau babi hutan terkena racun. Buah dan sayuran pun ikut langka tak
seperti dulu yang tinggal menyibak rumpunan semak dapat sekarung jamur dan sebagainya.
Seorang budak melompong, mukanya ikut
tempias, ngilu menyeruak. Matanya mengeresot, menahan perih. Ketika gumulan itu
kian mendekat tubuhnya menengadah, penasaran. Namun kemudian helaan berat
keluar dari mulutnya, kembali melempoh bersama budak jember (kotor) lainnya. Mamak-mamak
menggerutu, lihat hasil tangkapan tak memuaskan. Pergi pagi-pagi, pulang larut
bawa wajah kosog. Batal masak, terpaksa kunci perut sehari. Helaan kecewa
mengabur pula di antara budak dan bapak.
Redup kornea itu, kembali merengkuh
tubuh. Kulit jember berbasah-basahan, sehelai carik yang terbungkus tak sesuai
untuk setubuh. Sebelah tangannya menampung air yang turun, meresapi sejuk dan
menikamnya itu. Bapak-bapak
dan pemuda tanggung mengikat
anjingnya
pada salah satu tanggul yang juga terlindung dari hujan, duduk bersama kawanan
lain. Tubuhnya yang kecoklatan mulai membeku, terlalu lama berjimak dengan
angin dan hutan yang entahlah di sebut hutan.
Air mulai mengalir di bawah panggung
terbuka berukuran kecil mirip gubuk namun tak berdinding, hanya terlindung oleh
terpal yang keempat sisinya di ikatkan pada batangan pohon yang tersisa. Nenek
mengepul asap, bersaing dengan pemuda dan bapak-bapak, sekedar lintingan tembakau
kering tanpa bumbu penyedap. Tak jarang mereka bersua dengan masyarakat yang
menyadap karet atau menimbang jangjangan, mengutip serakan brondol muda. Tempat
mereka terang, tersibak publik, siapa saja yang melintas dapat dengan bebas melihat
mereka yang berkancut, kutang jamuran berenda. Bila dulu cahaya kehijauan
terbias daun dan ranting-ranting, menyembunyikan sosok, kini hutan itu
bercelah. Mengangga.
Rindu benar hati mereka, sama pula
dengan Kantap, budak yang duduk melompong, yang rindu akan tanggul-tanggul dan
kicauan burung, desau ular, bisingan kumbang, gemeletuk kulit kayu kering, pongahan
simpai bergajul yang menghidupkan pohon-pohon di pagi berkabut. Dengusan babi
hutan, auman dewa mereka, harimau.
Air dalam telapak tangan mulai melembak,
tumpah ruah, mengenai lengan. Bukan alunan keroncong di perut bukan pula kelabu
yang menumpahkan lahar yang membuatnya diam. Hanya saja kesepian itu mulai
menggerayangi sosoknya, mengantarnya pada neraka. Dia percaya pada sosok dewa
namun dewa itu lenyap entah berlabuh kemana, bagaimana nasibnya.
Menahan tangis.
Dewa itu yang menjaga hutan, melindungi
mereka, memberi berkah, seperti Bapa. Sosok tangkas dengan auman yang di
percaya dapat menyibak reranting lebat daun Bermuda, gagah melempar mereka,
mencabik mereka yang merusak. Dewa itu ikut lenyap. Kalau sudah begini bencana
kian menjadi, kiamat meluluh-lantak, dewa murka.
Bapak
duduk di sebelahnya, merangkul bahu yang dingin. Sebagian nenek menginang,
memuntahkan cairan merah dari mulutnya, kembali mengunyah, yakin hal itu
sebagai bentuk kecantikan dan kesehatan, diikuti oleh mamak-mamak.
“Besok kito nak makan” ujar bapak seraya
tersenyum.
*******
Dingin memburu, di antara batangan
lembab, tanah-tanah merah melorot, air keruh pekat tergenang dalam kubangan. Tetesan
air bergayut pada ujung dedaunan, rumpunan, reranting. Serangga satu-dua
bernyanyi pilu, merong-rong, sebab rumah tak kenal tempat pulang tak punya. Pemuda
dan bapak berkancut itu melepas anjing, ikut tergopoh, teriak, anjing menyalak.
Mentari rupawa dewa belum jua menyembul,
ayam hutan belum jua berkokok, langit
lazuardi bersih masih menggelap. Api kecil meliuk-liuk, mamak menambah kayu
setengah basah ke dalamnya. Api bergemeletuk, meretak, menjilat-jilat, membumbung
lantas kembali mengecil, abu terbang. Kantap kembali merenung, melompong seraya
nanar.
Di tangkupnya telapak tangan kecil itu,
berdoa pada dewa. Bukan tentang hasil yang akan dia makan nanti melainkan
berdoa untuk dewa yang mereka agungkan. Lamat-lamat mentari merangsek, menyorot
tepat pada celah batangan. Satu-dua penyadap karet beraktivitas, motor berkoar,
seolah kesal sebab harus memapah di kelokan becek bergulat dengan liat dodol
tanah.
Mamak siap mengajak budaknya membasuh
diri sekedar menyapu tubuh dengan air dan menggosoknya. Gadis-gadis muda
menyibak sarung sedang mereka yang sudah dewasa, sudah menikah menaikan tali
kutang yang melorot.
*******
Kantap kembali mengasingkan diri, duduk
melompong di bawah terpal, menatap langsung kearah utara hutan yang sebagian
menjelma, terganti pepohonan yang di sadap, di tampung getahnya, di jual. Matahari
tepat di atas ubun, tidak terik, tidak juga mendung, sedang saja. Budak lainnya
bergerincak meski genderang kian melilit, meng-guilotin.
Dari jauh terdengar nyalakan anjing,
berlari, saling berlomba seakan berebut hendak menyampaikan kabar bahagia dari
sang maha pencipta. Semua kepala tengadah, Kantap ikut menoleh. Para lelaki pulang dini, melambai, di belakangnya buntelan karung di gunggung
bersama
seakan itu berat sangat. Semua berkoar ria, mereka tahu dewa telah menurunkan
rezekinya.
Anjing-anjing tiba lebih dulu, lidahnya
menjulur keluar-masuk, tidak sabaran. Ketika karung di buka, semua terdiam, ya
dewa apa gerangan sehingga sumringah menebar. Anak keturunan akan menerima
bala, murka para dewa, sengsara hidup kian melarat, neraka mulai menunjukan
jurang, dunia gelap kian merengkuh, budak meringis ketakutan, rasa lapar
merobohkan. Kantap mematut, netranya kopong. Serasa ada timah yang melubangi
jelu. Sedikit bergetar, mamak-mamak membawa serta hewan buruan tersebut untuk
disiangi.
Mereka bergumul, melingkar. Tepat di
atas talas daging yang di bakar seadanya tersaji, para tetua dan orang dewasa
mulai melahap, mencuil daging tersebut. Namun Kantap tidak ikut makan, tidak
juga menyentuhnya. Dia hanya beriba, menahan derai. Hatinya berkecamuk, seakan
dibanting, digampar oleh kenyataan pahit. Lihat dewa mereka kembali, seekor
harimau dengan auman gagah itu terbaring. Dewa mereka, kepercayaan mereka,
hewan suci terpaksa dikonsumsi olehnya sebab tak ada pilihan.
Bila sudah begini siapa lagi yang akan
melindungi mereka dari kepunahan? Bapa mereka sudah dimakan, diambil dagingnya.
Satu-dua mamak makan menahan perih, dalam hati berdoa untuk keselamatan mereka.
Kantap hanya menatap lekat pada budak lainnya yang makan sedikit terpaksa sebab
sudah berhari keroncong mengikis dinding lambung, perih. Dia berpikir, “Macam mano biak kami endak kekurangan
makanan? Ya dewa tangguh maafkan kanti, mamak, bapak.”
Kantap berdiri, membuat mereka ikut
tengadah. Dia meringis, meraih tulang harimau itu.
“Endak
adokah caro biak kito tetap memegang teguh kepercayaan, setia kepado dewa, bukannyo
memakan? Contohnyo bertanam macam mereka”
ujar Kantap menahan derai. Tetua terlihat bersungut.
“Endak
biso, kito ko tinggal berpindah tempat endak mungkin biso bertanam” Kantap
terdiam, uratnya menegang. Sebagian menunduk, mengelus daging dewa mereka.
“Kato
dio negeri ko makmur, tanam apo be tumbuh. Itu memang tradisi tapi apo salahnyo
kito mencubo untuk mengganti daging buruan
dengan yang lain. Dewa murka,
kiamat akan menelan, nerako mengango. Biadab
mereka, kejam” Kantap kian menjadi, kini meraung,
tidak tega Bapanya dimakan, dicerna. Marah kepada Nagara, kepada mereka yang
mengatakan Indonesa makmur, nyatanya mereka mulai terpojok, punah, bahkan
terpaksa memakan dewa sendiri akibat kebringasan dan kerakusan mereka manusia
bertitle sarjana, berilmu tinggi.
Tetua itu terdiam, tidak tahu harus
berujar apa. Kantap sesenggukan, meraung, luluh lantak, dijejaknya tulang itu
ke permukaan dahi. Jelu menikam, darah muncrat dari luka yang kian menganga. Salah
satu budak meletakkan kembali sepotong daging itu, tidak enak hati untuk
melanjutkan.
“Kito cari batang ubi kayu dan pisang. Mulai
mencubo, semoga dewa selalu menyertai, maafkan kito kanti basamo” Kantap
terdiam, tangisnya membumbung.
Salah seorang pemuda menggali lubang
dengan kayu runcing, menguburkan dewa mereka, berharap tanah subur oleh siraman
berkah. Kerakusan itu menjilat mereka, mengantar pada tubir jurang. Dalam hati
Kantap berdoa, auman itu dapat dia dengar meski jauh jaraknya. Mamak, Bapak,
Tetuo mematut mangut. Entah akan berdiam atau kembali menyeruak belukar
liar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar