Gawai, Sembunyi dalam Dompet
(Kunti Dewi Hambawani)
Bu
Mus begitu antusias menapak hari pertama
masuk sekolah. Kurang satu. Sepertinya memang tamat sudah. Jika tidak mencapai
10 siswa yang mendaftar, maka SD Muhammadiyah di Belitong itu akan ditutup.
Hening, sedih, mata berkaca-kaca, semua bercampur menjadi satu ketika kepala
sekolah hendak mengumumkan pembubaran sekolah. Namun, tiba-tiba saja dewa
penyelamat muncul dengan langkah terseok sebab kakinya berbentuk huruf X. Anak-anak
berteriak “Haruuuuuuuuuuuuun!”.
Sekelumit
sinopsis “Laskar Pelangi” goresan
Andrea Hirata dalam Tetralogi
karyanya yang fenomenal. Sebuah mahakarya yang mengamanatkan betapa pentingnya
pendidikan. Tidak peduli bagaimanapun sulitnya situasi dan kondisi kala itu.
Ada semangat membara dari orang tua yang ingin mengubah takdir lewat tangan
buah hati mereka. Semangat anak-anak desa yang bergulat dengan kemiskinan
tetapi gigih ingin bersekolah. Harapan mereka tertambat pada SD Muhammadiyah.
Sekolah terbaik satu-satunya yang berada di desa Belitong. Kita harus berkaca
dari sini.
Mengenyam pendidikan adalah salah satu cara
memanusiakan manusia. Jika sekarang kita mampu memilih sekolah mana yang
terbaik, maka pilihlah. Mencari sekolah terbaik saat ini tidaklah sesulit dalam
guratan sinopsis Andrea di atas. Sekolah terbaik sudah bertebaran “ibarat panu di kulit yang tidak pernah
tersiram air”.
Lantas
bagaimana dengan generasi millenia
sekarang? Era revolusi industri 4.0 menggiring dengan persaingan yang mahaketat.
Manusia bersaing dan bekerjasama dengan mesin. Teknologi cerdas yang dapat
terhubung dalam berbagai lini kehidupan manusia. Lewat internet untuk segala. Jika
tanpa skill dan kecerdasan, maka
karam sudah di Samudra Atlantik. Tragis memang. Apakah akan pasrah dengan keadaan? Tidak akan ada kata sulit, sebab
tidak ada biaya. Bukankah sudah ada kelonggaran untuk bersekolah gratis?
Era
gawai, era digital mempermudah segala urusan, semudah menyediakan menu cepat
siap saji. Dengan suguhan menu-menu yang siap dihadapan layar gawai, maka
memudahkan seorang anak didik untuk mendapatkan sekolah mana yang dipilih. Penyediaan
sarana prasarana juga menjadi salah satu indikator sebuah sekolah dapat
dikatakan terbaik atau tidak. Sebagai contoh guru mengeluhkan tidak adanya buku
paket dan buku penunjang pembelajaran. Sementara hampir 95% anak didik memiliki
gawai lengkap dengan paket internet.
Namun, sangatlah aneh apabila anak didik
dilarang membawa gawai ke sekolah. Hal tersebut ditengarai takut disalahgunakan,
“seolah mengenggam bara dalam sekam”
kata mereka.
Sebuah
ketakutan yang berlebihan. Pola pikir
terbalik ini hendaknya diluruskan. Bukankah di rumah anak didik bebas
mengakses internet? Lalu, mengapa sekolah malah melarang anak didiknya membawa
gawai? Padahal justru di sekolah, keamanan menggunakan akses internet itu dapat
terjaga sebab di bawah pengawasan guru. Akses internet menjawab persoalan yang
sulit dipecahkan. Jika memang takut disalahgunakan, maka penanaman nilai-nilai positif
dari internet harus selalu digalakkan.
Pelarangan
gawai ini sama saja mengambat pencanangan revolusi industri 4.0 yang saat ini
sudah mengglobal. Bagaimana sekolah akan maju jika literasi digital saat ini menjadi momok menakutkan. Sebagai contoh nyata fenomena dihadapkan pada
kebingungan dan kebimbangan setiap siswa selesai pada jenjang tertentu.
Alih-alih mencari sekolah yang lebih bagus atau lebih terkenal, malah terjebak
dengan output tanpa isi. Hal tersebut
terjadi karena sekolah hanya dijadikan sebagai ajang gengsi alias sekolah hanya
sekadar sekolah saja. Dengan literasi digital diharapkan anak didik yang semula
hanya duduk diam sementara mata dan pikiran entah kemana, diubah menjadi
manusia yang melek teknologi siber-fisik. Artinya siswa dirangsang
untuk belajar melalui gawai. Otomatis diiringi dengan penanaman internet
positif.
Menjadikan
sekolah sebagai tempat akses ilmu yang
mudah, cepat, nyaman dan selalu diinginkan bagi anak didik adalah cerminan
sekolah yang menyelaraskan dengan perubahan industri teknologi otomatisasi dengan teknologi siber. Perlu dicamkan, sekolah sudah
diberi mandat oleh orang tua siswa untuk mencerdaskan, meluhurkan putra putri
mereka. Sekolah digadang-gadang orang tua yang menitipkan anaknya agar mampu
mengubah kehidupan mereka.
Oleh
karena itu, penyediaan fasilitas akses internet gratis di sekolah adalah
langkah awal menuju literasi digital. Namun, jangan dilupakan, segala yang
berbau modernisasi, industrialisasi dan digitalisasi harus dibentengi dengan
iman dan akhlak yang luhur. Sekolah harus berusaha mewujudkannya. Jika sudah
demikian, apakah sekolah sudah dikatakan sekolah terbaik atau belum? Renungkanlah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar