Sabtu, 23 Februari 2019

Artikel Antologi 2


Gawai, Sembunyi dalam Dompet
(Kunti Dewi Hambawani)


Bu Mus begitu antusias menapak  hari pertama masuk sekolah. Kurang satu. Sepertinya memang tamat sudah. Jika tidak mencapai 10 siswa yang mendaftar, maka SD Muhammadiyah di Belitong itu akan ditutup. Hening, sedih, mata berkaca-kaca, semua bercampur menjadi satu ketika kepala sekolah hendak mengumumkan pembubaran sekolah. Namun, tiba-tiba saja dewa penyelamat muncul dengan langkah terseok sebab kakinya berbentuk huruf X. Anak-anak  berteriak “Haruuuuuuuuuuuuun!”.
Sekelumit sinopsis “Laskar Pelangi” goresan Andrea Hirata dalam Tetralogi karyanya yang fenomenal. Sebuah mahakarya yang mengamanatkan betapa pentingnya pendidikan. Tidak peduli bagaimanapun sulitnya situasi dan kondisi kala itu. Ada semangat membara dari orang tua yang ingin mengubah takdir lewat tangan buah hati mereka. Semangat anak-anak desa yang bergulat dengan kemiskinan tetapi gigih ingin bersekolah. Harapan mereka tertambat pada SD Muhammadiyah. Sekolah terbaik satu-satunya yang berada di desa Belitong. Kita harus berkaca dari sini.
Mengenyam  pendidikan adalah salah satu cara memanusiakan manusia. Jika sekarang kita mampu memilih sekolah mana yang terbaik, maka pilihlah. Mencari sekolah terbaik saat ini tidaklah sesulit dalam guratan sinopsis Andrea di atas. Sekolah terbaik sudah bertebaran “ibarat panu di kulit yang tidak pernah tersiram air”.
Lantas bagaimana dengan generasi millenia sekarang? Era revolusi industri 4.0 menggiring dengan persaingan yang mahaketat. Manusia bersaing dan bekerjasama dengan mesin. Teknologi cerdas yang dapat terhubung dalam berbagai lini kehidupan manusia. Lewat internet untuk segala. Jika tanpa skill dan kecerdasan, maka karam sudah di Samudra Atlantik. Tragis memang. Apakah akan pasrah dengan  keadaan? Tidak akan ada kata sulit, sebab tidak ada biaya. Bukankah sudah ada kelonggaran untuk bersekolah gratis?
Era gawai, era digital mempermudah segala urusan, semudah menyediakan menu cepat siap saji. Dengan suguhan menu-menu yang siap dihadapan layar gawai, maka memudahkan seorang anak didik untuk mendapatkan sekolah mana yang dipilih. Penyediaan sarana prasarana juga menjadi salah satu indikator sebuah sekolah dapat dikatakan terbaik atau tidak. Sebagai contoh guru mengeluhkan tidak adanya buku paket dan buku penunjang pembelajaran. Sementara hampir 95% anak didik memiliki gawai lengkap dengan  paket internet. Namun,  sangatlah aneh apabila anak didik dilarang membawa gawai ke sekolah. Hal tersebut ditengarai takut disalahgunakan, “seolah mengenggam bara dalam sekam” kata mereka.
Sebuah ketakutan yang berlebihan. Pola pikir  terbalik ini hendaknya diluruskan. Bukankah di rumah anak didik bebas mengakses internet? Lalu, mengapa sekolah malah melarang anak didiknya membawa gawai? Padahal justru di sekolah, keamanan menggunakan akses internet itu dapat terjaga sebab di bawah pengawasan guru. Akses internet menjawab persoalan yang sulit dipecahkan. Jika memang takut disalahgunakan, maka penanaman nilai-nilai positif dari internet harus selalu digalakkan.  
Pelarangan gawai ini sama saja mengambat pencanangan revolusi industri 4.0 yang saat ini sudah mengglobal. Bagaimana sekolah akan maju jika literasi digital saat ini menjadi momok menakutkan.  Sebagai contoh nyata fenomena dihadapkan pada kebingungan dan kebimbangan setiap siswa selesai pada jenjang tertentu. Alih-alih mencari sekolah yang lebih bagus atau lebih terkenal, malah terjebak dengan output tanpa isi. Hal tersebut terjadi karena sekolah hanya dijadikan sebagai ajang gengsi alias sekolah hanya sekadar sekolah saja. Dengan literasi digital diharapkan anak didik yang semula hanya duduk diam sementara mata dan pikiran entah kemana, diubah menjadi manusia yang melek teknologi siber-fisik. Artinya siswa dirangsang untuk belajar melalui gawai. Otomatis diiringi dengan penanaman internet positif.
Menjadikan sekolah sebagai tempat akses  ilmu yang mudah, cepat, nyaman dan selalu diinginkan bagi anak didik adalah cerminan sekolah yang menyelaraskan dengan perubahan industri  teknologi otomatisasi dengan teknologi siber. Perlu dicamkan, sekolah sudah diberi mandat oleh orang tua siswa untuk mencerdaskan, meluhurkan putra putri mereka. Sekolah digadang-gadang orang tua yang menitipkan anaknya agar mampu mengubah kehidupan mereka.
Oleh karena itu, penyediaan fasilitas akses internet gratis di sekolah adalah langkah awal menuju literasi digital. Namun, jangan dilupakan, segala yang berbau modernisasi, industrialisasi dan digitalisasi harus dibentengi dengan iman dan akhlak yang luhur. Sekolah harus berusaha mewujudkannya. Jika sudah demikian, apakah sekolah sudah dikatakan sekolah terbaik atau belum? Renungkanlah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Sastra

Kalian dalam Sebuah Episode