Sabtu, 08 Oktober 2022


 

Koneksi Antarmateri Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik

Fasilitator                      : Bapak Trireko Hernando, S.Pd. M.Pd.
Pengajar Praktik           : Bapak Dede Rudiana, S.Pd.
CGP                              : Kunti Dewi Hambawani



Bagaimana peran Anda sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya di paket modul 2 yaitu pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial dan emosi?





            Peran saya sebagai coach di sekolah masih sebagai penuntun bagi murid-murid saya. Namun, belumlah menjadi coach yang mampu menggali penuh ide murid dengan pertanyaan berbobot. Perlu latihan dan belajar dengan kesadaran penuh. Selama ini kemampuan masih dalam posisi mengarahkan dengan memberi solusi, belum maksimal menggali potensi murid, padahal potensi mereka sungguh luar biasa. Untuk bermitra dengan murid dan warga sekolah lain, insya Allah saya selalu menjaganya, menjaga kesetaraan. Mencoba berbagi pengalaman. Mengembangkan kompetensi murid, rekan sejawat dengan percakapan dua arah dengan proses coaching. Jika dengan murid secara individual ataupun klasikal. Akhir dari coaching baik dengan guru, rekan sejawat atau warga sekolah lain, selalu mencoba langkah rencana aksi apa yang akan dilakukan. 
            Misalnya terkait dengan mata pelajaran yang saya ampu, Bahasa Indonesia ketika murid kesulitan menulis laporan pengamatan lingkungan sekitar. Ketika pelaksanaan pembelajaran secara klasikal saya akan menanyakan tujuan pembicaraan. Kemudian saya akan menggali pengalaman yang pernah dilakukan di jenjang SMP dengan pertanyaan berbobot. Murid akan menanggapi beragam dan banyak usulan-usulan. Saat inilah proses coaching terjadi lebih mendalam lagi dengan melanjutkan dengan rencana aksi menulis dengan latihan kalimat berantai oleh mereka. Hingga mereka mampu untuk mempertanggung jawabkan hasil rangkaian kalimat menjadi contoh sebuah laporan pengamatan (meskipun singkat).  
            Sebagai coach bagi rekan sejawat biasanya ini terkait dengan kendala yang dialami saat pembelajaran atau kegiatan sekolah. Biasanya akan ada percakapan yang mengalir, meskipun sesekali muncul solusi dari saya, ini belumlah bisa dielak. Namun setelah mempelajari Modul 2.3 ini insya Allah akan terus belajar tidak akan memberikan solusi saat melakukan coaching dengan rekan sejawat atau warga sekolah lain. Mendorong mereka sendiri yang menemukan ide dan solusi adalah hal menarik sebagai sebuah pembelajaran coaching. dengan  demikian proses latihan sebagai coach yang baik akan terus dikembangkan. 


Kaitan proses Coaching dengan pembelajaran berdiferensiasi


https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fpenaguruntt.com%2Ftugas-_2-1-a-9_-pembelajaran-berdiferensiasi%2F&psig=AOvVaw0QFZT6GdiRW4eS-3hBYcCr&ust=1665332234392000&source=images&cd=vfe&ved=0CAwQjRxqFwoTCLjH0JWE0foCFQAAAAAdAAAAABAJ

            Tujuan pendidikan sesuai filosofi Ki hajar Dewantara adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.

Pendidik sebagai “Pamong” memberikan kebebasan pada muridnya. Meskipun demikian, Pamong harus memberikan tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami bahwa kemerdekaan dirinya juga mempengaruhi kemerdekaan anak lain. Apalagi kita meyakini bahwa setiap anak itu unik dan beragam. Maka pendidik harus memikirkan bagaimana memberikan layanan pendidikan yang memungkinkan. Fakta bahwa murid-murid kita memiliki karakteristik yang beragam, dengan keunikan, kekuatan dan kebutuhan belajar yang berbeda, tentunya perlu direspon dengan tepat.

           Salah satu cara yang dapat kita lakukan untuk merespon karakteristik murid-murid yang beragam ini adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi. Bagaimana coaching diimplementasikan dalam pembelajaran berdeferensiasi? Dalam proses menuntun murid guru melakukan proses pembelajaran dengan menstimulusi pemikiran murid dan memberdayakan potensi yang ada pada murid dengan proses kreatif. Guru sebagai coach membantu muridnya untuk belajar daripada mengajarinya. Coach yang baik akan mengidentifikasi terlebih dahulu kebutuhan muridnya. Memahami, membangun kesadaran secara kontinyu kekuatan dan kelemahan muridnya. Mengamati dan menilai kesiapan belajar, minat, dan profil belajar muridnya.
            Berkaitan dengan kekuatan dan potensi yang dimiliki muridnya, guru sebagai coach akan menggunakan metode dan strategi untuk menggali kemampuan diri murid agar mampu menyelesaikan atau menemukan solusi masalahnya. Langkah yang diambil guru sebagai coach adalah menetapkan tujuan, mengidentifikasi masalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbobot yang akan menggali kekuatan potensi murid. Setelah itu murid akan mencoba membuat rencana aksi dengan mmberdayakan kekuatan hingga mampu membuat komitmen yang tanggung jawab.


Selaras dengan tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, tugas pendidik adalah menumbuhkan motivasi murid untuk memiliki perhatian yang berkualitas dengan merancang pengalaman belajar yang mengundang dan bermakna. Guru merencanakan secara sadar pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan murid untuk mewujudkan kekuatan (potensinya). Pengintegrasian coaching dalam pembelajaran social emosional (PSE) terlihat ketika ketika seorang murid perlu mengeluarkan ide yang baru dan orisinil untuk memecahkan masalah (dimensi kreatif) diperlukan juga kemampuan bernalar kritis untuk melihat permasalahan yang ada. Dalam situasi tersebut, murid tersebut menerapkan kesadaran diri dan manajemen diri dngan keterampilan berelasi yang dimiliki sehingga mampu mengambil keputusan yang bertanggung jawab. 
            Melihat kondisi sosial emosional murid melalui proses coaching akan menciptakan lingkungan belajar aman dan menyenangkan. Sikap saling percaya akan menumbuhkan rasa aman, nyaman, bagi murid dalam mengekspresikannya. Coaching membantu murid untuk berani bertanya, mencari tahu, berpendapat, mencoba, berkolaborasi, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya secara lebih optimal. Proses coaching memancing murid untuk membantu murid menemukan jati diri dan mengembangkan potensi melalui pengajaran eksplisit, terintegrasi dalam konten dan strategi terkait dengan perencanaan proses dan pelaksanaan proses pembelajaran.

Bagaimana keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin  pembelajaran








Sebagai pemimpin pembelajaran, guru menjadi pemimpin yang menaruh perhatian penuh secara sengaja pada komponen pembelajaran, seperti kurikulum (intra, ekstra, dan ko-kurikuler), proses belajar-mengajar, refleksi dan asesmen yang otentik dan efektif, pengembangan guru, pemberdayaan dan pelibatan komunitas yang kesemuanya mendorong terwujudnya wellbeing (kondisi yang berpihak pada murid)  dalam ekosistem pendidikan di sekolah. Guru menciptakan kondisi yang nyaman untuk belajar sesuai dengan kebutuhan murid. Lingkungan belajar di sekolah memungkinkan anak untuk mendapatkan manfaat maksimal dari belajar. Sebagai pemimpin pembelajaran, guru berperan besar dalam membuat lingkungan sekolah yang aman, nyaman, menyenangkan, tetapi tetap menantang, dan relevan untuk para muridnya. Orintasinya adalah untuk kepentingan tumbuh, kembang, dan mekarnya murid.

            
Keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin  pembelajaran sangat bertalian erat. Paradigma berpikir coaching (focus pada coachee, terbuka dan ingin tahu, kesadaran diri yang kuat, dan mampu melihat peluang baru dan masa depan merupakan proses memberdayakan murid. Prinsip dan pelaksanaan coaching dimaksudkan untuk pengembangan kompetensi sebagai pemimpin  pembelajaran. Untuk mewujudkan kesemuanya melalui percakapan coaching dengan pendekatan TIRTA. Yaitu dengan menetapkan tujuan, menggali dan mengidentifikasi hal yang dibicarakan, rencana aksi, dan tanggung jawab (komitmen) dari hasil proses coaching tadi. Alur TITRA memfasilitasi rekan sejawat juga agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi untuk membuat keputusan yang bijak dan mandiri



Pemikiran reflektif terkait pengalaman belajar

Coaching. Tidak terpikir sama sekali oleh saya, bahwa pembelajaran ini akan semenarik ini. Sepengetahuan saya yang namanya Coach itu hanya terimplementasi di bidang keolahragaan saja. Dan ternyata. Masya Allah, pembelajaran coaching ini membangunkan saya dari pola pikir dan pembelajaran saya yang selama ini sebagai “pemberi solusi” ke murid, ke rekan sejawat, atau ke orang lain. Sebuah paradigma menggali potensi, kelebihan seseorang dengan umpan yang kita lempar. Benar-benar pembelajaran yang menyenangkan. Praktik coaching yang asyik seolah-olah saya memang benar-benar seorang coach yang dibutuhkan oleh coachee ketika menyampaikan keluhan/masalah. Tidak mudah ternyata, saya harus banyak referensi, pengalaman, literasi bagaimana menjadi coach yang mampu menggali kekuatan, potensi, daya juang si coachee. 

Di sekolah, di rumah dengan tetangga tak dapat dielak ketika secara tak sadar proses mengcoaching itu terkadang saya lakukan dengan teman yang menumpahkan unek-uneknya. Hanya saja penyelesaiannya masih di saya, artinya coaching saya itu bukan coaching, tetapi curhatan. Sebab saya masih terfokus pada situasinya. Saya masih menjadi pemberi solusi, meskipun sesekali saya bertanya “Lha terus koe pie? (Lha terus kamu bagaimana). Si coachee pun ngalir saja menjawabnya. Setelah mempelajari modul ini, dengan paradigm dan prinsip Coaching yang dipadukan dengan RASA dan pendekatan TIRTA, lalu praktik langsung dengan teman CGP, mendengar secara aktif curhatan Bu Nia (coachee), bertanya dengan menyusun pancingan yang pas untuk menggali potensi coachee itu tidak mudah. Tidak segampang seperti ketika saya mengomentari curhatan emak-emak. Masya Allah, ikut mengalir, ikut turut larut bersama coachee, jujur saya terkadang masih hanyut ke cerita coachee. Dan lagi-lagi teori coaching mempertegas, fokus, fokus, dan kembali fokus pada coachee yang akan dikembangkan. Seperti disentil jika ingat “Maaf, ini bukan curhatan, Bapak/Ibu…”(Pesan Bapak TriReko, Instruktur kami). Itu akan saya jadikan dayung kuat sehingga akan mengendalikan arah ketika air sudah mengalir. 

Hal baik lain yang diperoleh dari modul 2.3 ini memberikan pembelajaran yang sangat luar biasa bagi saya bagaimana memahami bahwa “seseorang itu sesungguhnya memiliki daya/kekuatan, potensi, dirinya mampu sendiri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya”. Ini adalah titik fokus pembelajaran “Coaching” ini. Fokus pada coachee yang harus dikembangkan, bukan pada situasinya. Menyusun pertanyaan yang menggali ide, memancing coachee untuk menemukan alternatif  itu tidaklah mudah. Ini menjadi PR bagi saya, akhirnya saya kembali teringat dengan Tayangan “Kick Andy” di Metro TV. Sepertinya saya harus melenggang ke sana untuk menikmati cara Andi F. Noya mengumpan pertanyaan. Yang pasti literasi, baik buku ataupun digital. 

Setelah berpraktik menjadi Coach, saya juga belajar berkolaborasi dengan rekan CGP dengan peran pengamat (supervisor). Sebenarnya posisinya ini lebih dari Coach, sebab yang diamati adalah proses coachingnya. Meskipun sebagai supervisor ada rubriknya, Bagaimana mempraktikkan saat praobservasi, lalu obserasi, dan memberikan umpan balik (pascaobserasi). Itu bukan perkara mudah. Lagi-lagi saya merasa masih sangat jauh dan harus banyak belajar. Seperti, membenahi berbahasa saya agar mudah ditangkap atau dipahami oleh coach, ataupun coachee. Lalu, mengurangi latah “/e/” yang selalu muncul di diri saya ketika berbicara.

“Ketika praktik menjadi pengamat, saya harus menyimak (coaching Bu Nia dan Pak Zaky), pasti sedikit grogi, sebab teman-teman CGP ini kemampuannya di atas saya. Hihihi… Nervous deh. Namun, saya harus belajar agar bisa. Maka ketika menyimak coaching mereka membuat saya harus benar-benar mendengarkan seksama. Mungkin lebih dari coach yang harus mendengar aktif kali ya. Sebab saya harus belajar berbincang dahulu sebelum praktik caching dilakukan. Lalu mengobservasi proses coaching, dan memberikan umpan balik (pascacoaching). Dalam proses membuat catatan-catatan saat coaching ini harus akurat sesuai data, fakta yang saya dengan, memberikan umpan balik dengan menunjukkan hal-hal baik/positif dari si coach (Bu Nia) yang kebetulan  memang sudah bagus menurut saya. Jadi, intinya, supervisor itu tidaklah menakutkan. Paradigma supervisor itu menakutkan harus kita buang jauh. Di sini saya belajar memperbaiki diri merefleksi diri untuk tidak menemukan kekurangan orang lain, tetapi belajar bahwa orang lain itu sesungguhnya memiliki kelebihan yang harus dimunculkan dan diberitahukan ke yang bersangkutan. 

Benang merah yang dapat saya tarik adalah Modul 2.3 membelajarkan tentang Coaching dengan memperhatikan paradigma dan prinsip coaching, yang disandingkan melalui pendekatan RASA dan TIRTA. Pasti kendala akan terkendali. Hambatan akan terselesaikan. Dari siapa? dari kita sendiri. Selain itu modul ini juga membelajarkan praktik baik bagaimana menjadi pengamat (supervisor) untuk supervisi akademik dengan teknik coaching. Hal baru yang membuat diri saya paham bahwa supervisi itu bukan menghakimi, bukan mengorek kekurangan. Jika supervisor mengerti ini pasti supervisi akan nikmat. Senikmat ketika saya sudah menyeruput kopi dengan sedikit gula. 

Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP

Pembelajaran coaching untuk supervisi akademik ini benar-benar pembelajaran bagaimana saya sebagai pendidik harus berusaha menggali potensi yang dimiliki murid, rekan sejawat, atau warga sekolah ketika mereka mengalami masalah, lalu berkeluh-kesah kepada kita. Dahulu ketika kita mendengarkan apa yang teman atau murid curhatkan atau sampaikan kepada kita, maka kita akan tergesa memberikan solusi yang kita anggap terbaik. Namun, ternyata menggali potensi yang dimiliki rekan atau murid itu sendiri jauh lebih solutif  ketika mereka mampu menghadapi kendala tersebut dengan solusi yang mereka temukan sendiri dengan ide kreatif yang diberdayakan. Jangan memberi tetapi bongkarlah apa yang ada pada diri murid-murid kita, sebab mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Murid-murid adalah pribadi-pribadi hebat yang dengan satu atau beberapa sentuhan maka akan terpancar kekuatan itu menjadi alternatif mereka sendiri. 

Rekan sejawat, mereka adalah penuntun yang hebat-hebat dengan kompetensi yang dimiliki, saya pun meyakini bahwa setiap kendala yang dihadapi mereka sesungguhnya mampu menyelesaikannya, hanya saja memang butuh teman untuk menggalinya. Dengan pembelajaran coaching ini, insya Allah akan saya implementasikan dalam praktik pembelajaran ketika menghadapi hambatan baik dari murid, rekan sejawat, warga sekolah, atau lingkungan.
Lantas bagaimana keterkaitannya dengan pengalaman belajar dengan murid? Saya mencoba terus menggali apa yang dimiliki murid saya ketika secara klasikal dalam diskusi mereka menanyakan hal yang menjad kendala dalam memahami materi yang diajarkan. Di sinilah saya mulai belajar menggali potensi murid dengan memberikan pertanyaan berbobot terkait materi yang belum dipahami dengan memberikan pertanyaan balik kepada murid-murid, lalu biasanya akan ada yang mengusulkan bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu. Dari sinilah, saya mencoba sesekali memancing kembali hingga murid memunculkan solusi jawaban atau alternatif lain untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Hingga nanti mereka akan bertanggung jawab dengan rencan aksi yang akan dilakukan dengan penuh komitmen.

Tantangan terkait implementasi dengan konteks asal adalah hal unik dan menarik. Budaya Jawa sering mempempengaruhi bagaimana saya mendekati, mencoba membangun kemitraan dengan murid ataupun dengan rekan sejawat. Sementara saya mengimplementasikan di sekolah yang notabene murid dan rekan saya beragam, berbhineka. Terkadang saya sering keceplosan memanggil “Nduk” atau “Le” baik ke murid atau rekan guru. Maksud saya membangun mitra agar lebih dekat, tetapi terkadan murid saya yang asli penduduk Jambi, Pamenang, tidak pamah, dan hanya tersenyum. Sesekali saya harus menjelaskan. Atau terkadang saya juga memberikan kelakar Bahasa Jawa, yang membuat murid saya diam saja, padahal Bahasa yang saya gunakan sangat lucu. Oleh karena mereka tidak paham, akhirnya saya dan anak-anak Jawa saja yang tertawa, yang asli Jambi terdiam. Inilah yang masih menjadi “latah”saya. Alternatif dari yang saya coba adalah, meminta murid lain untuk mengartikan kata-kata (Jawa) yang saya ucapkan. Secepatnya saya akan meminta maaf dan memberikan klarifikasi mengapa saya terkadang menggunakan kata atau Bahasa Jawa agar mereka tidak salah arti.

Tantangan lain terkait dengan rekan sejawat adalah sama seperti ke murid yaitu kebhinekaan tadi. Sekolah kami beragam suku. Maka memahami rekan dengan hadir secara utuh saat mendengarkan keluh kesah (masalah pribadi). Saya pun mencoba bertanya untuk menemukan apa kekuatan yang dimiliki rekan saya ini. Meski ujungnya, rekan akan ngotot dengan solusi yang dia anggap baik (tidak dapat diubah keputusannya) maka saya akan menanyakan siapkah dengan segala konsekuensinya? Harapan saya dia akan benar-benar memikirkan solusi yang lebih bijak. Lain rekan satu, lain pula rekan yang lain. Nah ini terjadi ketika kami menjadi satu tim akreditasi, sebuah tantangan besar menghadang, ketika dua rekan koordinator yang memegang mutu lulusan dan mutu proses pembelajaran tidak dapat mendampingi bahkan terkesan melepaskan tanggung jawab yang diamanahkan. Maka saya membicarakan dengan rekan sekretaris, mirip coaching. Sebab sekretaris mengeluh dengan kelakuan dua rekan koordinator tadi. Dari solusi yang ditawarkan rekan sekretaris (coachee) Alhamdulillah kendala tersebut menyingkir alias terselesaikan. Intinya adalah teknik coaching dengan kematangan dan kejernihan berpikir akan melahirkan jurus-jurus jitu yang diluar dugaan.

Membuat Keterhubungan

Dahulu ketika murid atau rekan berkeluh kesah menyampaikan masalah ke saya, maka respon saya berupa solusi yang jika dipakai silahkan, tidak ya tidak masalah. Saya berpikir bahwa mereka membutuhkan solusi dari saya. Saya cenderung mencari sisi lemah atau kurangnya murid atau rekan. Tidak terpikir bahwa mereka memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah mereka sendiri. Untuk proses menyimaknya atau mendengar, sama, saya akan mendengarkan aktif secara seksama. Saya belum memahami bahwa saya harus menggali kekuatan apa yang dimiliki rekan atau murid saya. Saya cenderung langsung memberikan solusi. Padahal ini tidak dibenarkan. Paradigma dan prinsip Coaching dengan RASA dan TIRTA membuka wawasan dan cara berpikir positif saya ke murid dan rekan, atau bahkan orang lain di sekitar saya. Coaching membuat saya malu ketika berefleksi ke belakang, betapa saya ini apa, betapa saya adalah seseorang yang merasa “ini lho saya” astagfirullahaladzim. Semoga murid saya dan rekan atau orang-orang di sekitar saya memaafkan kealfaan saya. 

Tak ada yang akan saya sia-kan setelah belajar di CGP ini apalagi belajar dari Modul 2.3 ini. Menghargai murid, rekan, dan orang lain dengan banyak potensi mereka, adalah langkah yang harus selekasnya saya aktualisasikan baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal saya. Insya Allah setelah memahami modul ini dari awal, praktik itu mulai berjalan meskipun lamban sebab hambatan itu sesekali saja menghadang. Praktik baik yang saya lakukan di Modul 2.2 Pembelajaran untuk Memenihu Kebutuhan Murid adalah memahami profil belajar murid dengan deferensiasi produk, maka murid-murid saya benar-benar membuat produk/tugas sesuai dengan keinginan mereka. Ada yang membuat voice note, laporan canva, upload tulisan di instagram, membuat video https://youtu.be/SKWODeF4DQ0



Praktik baik modul 2.1. Pembelajaran Sosial-Emosional, mindfulness (https://youtu.be/UhcOpWwkh8U) mereka murid-murid saya yang butuh kesiapan dalam belajar. Sebab kala itu secara tidak terduga terjadi pertengkaran di luar kelas (kelas lain, bukan kelas yang saya ajar, siang itu) dan mereka sempat melihatnya. Lalu saya mencoba melerai, setelahnya saya kembali ke kelas, tetapi saya mencoba memusatkan perhatian murid-murid dengan mindfulness terlebih dahulu agar mereka terfokus ke pembelajaran bukan ke pertengkaran. Dan akhirnya mereka siap belajar. 



Membaca resensi dari Buku “Leader as a Coach - Prinsip Dasar Kepemimpinan Efektif di Era Disruptif” By Rudy Efendy pada laman  https://pimtar.id/books/leader-as-a-coach/8705f29281c65969970420820?page=4  membuat saya menggaris-bawahi dan menambah keyakinan dan wawasan  saya bahwa Coaching membantu coachee  untuk memunculkan potensi terbaik mereka dengan cara menyingkirkan hal-hal yang mengganggu seperti mental block, kurang percaya diri dan masalah psikologis lainnya. Coaching tidak hanya sebatas urusan profesional atau pekerjaan, melainkan juga urusan personal karena bisa jadi masalah personal-lah yang menghambat kinerja dan potensi mereka. (Diakses, 10 Oktober 2022). Kutipan yang saya cetak tebal akan menjadikan hal penting yang harus saya jadikan indikator mengapa coaching itu penting. Bagaimana membangun pertanyaan yang berbobot ternyata  link di atas memberikan beberapa pencerahan. Yaitu dengan bottom lining (mempertegas topik/agenda), acknowledging (menyampaikan apa adanya), interrupting (menginterupsi), challenging (menantang), requesting ( meminta melakukan sesuatu), articulating (menyuarakan isi pikiran dengan jelas), reframing (membantu coachee melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda), dan methapor (menggambarkan situasi).

Akhirnya saya sedikit tambah mengerti bagaimana membuat pertanyaan berbobot itu. Simpulan akhir adalah bahwa seorang pendidik harus memiliki kemampuan leadership pada murid rekan sejawat, lingkungan. Tidak mesti hanya di perusahaan saja seorang leadership itu ada. 

“ Before you are a leader, success is all about growing yourself. When you become a leader, success is all about growing others.”  (Jack Welch)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Sastra

Kalian dalam Sebuah Episode