Koneksi Antarmateri Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik
Fasilitator : Bapak Trireko Hernando,
S.Pd. M.Pd.
Pengajar
Praktik : Bapak Dede Rudiana,
S.Pd.
CGP :
Kunti Dewi Hambawani
Peran saya sebagai coach di sekolah masih sebagai penuntun bagi murid-murid saya. Namun, belumlah menjadi coach yang mampu menggali penuh ide murid dengan pertanyaan berbobot. Perlu latihan dan belajar dengan kesadaran penuh. Selama ini kemampuan masih dalam posisi mengarahkan dengan memberi solusi, belum maksimal menggali potensi murid, padahal potensi mereka sungguh luar biasa. Untuk bermitra dengan murid dan warga sekolah lain, insya Allah saya selalu menjaganya, menjaga kesetaraan. Mencoba berbagi pengalaman. Mengembangkan kompetensi murid, rekan sejawat dengan percakapan dua arah dengan proses coaching. Jika dengan murid secara individual ataupun klasikal. Akhir dari coaching baik dengan guru, rekan sejawat atau warga sekolah lain, selalu mencoba langkah rencana aksi apa yang akan dilakukan.
Kaitan proses Coaching dengan pembelajaran berdiferensiasi
https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fpenaguruntt.com%2Ftugas-_2-1-a-9_-pembelajaran-berdiferensiasi%2F&psig=AOvVaw0QFZT6GdiRW4eS-3hBYcCr&ust=1665332234392000&source=images&cd=vfe&ved=0CAwQjRxqFwoTCLjH0JWE0foCFQAAAAAdAAAAABAJ
Tujuan pendidikan sesuai filosofi Ki hajar Dewantara adalah menuntun
segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat. Pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan
dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Pendidik sebagai “Pamong” memberikan kebebasan pada muridnya. Meskipun demikian, Pamong harus memberikan tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Anak juga secara sadar memahami bahwa kemerdekaan dirinya juga mempengaruhi kemerdekaan anak lain. Apalagi kita meyakini bahwa setiap anak itu unik dan beragam. Maka pendidik harus memikirkan bagaimana memberikan layanan pendidikan yang memungkinkan. Fakta bahwa murid-murid kita memiliki karakteristik yang beragam, dengan keunikan, kekuatan dan kebutuhan belajar yang berbeda, tentunya perlu direspon dengan tepat.
Berkaitan dengan kekuatan dan potensi yang dimiliki muridnya, guru sebagai coach akan menggunakan metode dan strategi untuk menggali kemampuan diri murid agar mampu menyelesaikan atau menemukan solusi masalahnya. Langkah yang diambil guru sebagai coach adalah menetapkan tujuan, mengidentifikasi masalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berbobot yang akan menggali kekuatan potensi murid. Setelah itu murid akan mencoba membuat rencana aksi dengan mmberdayakan kekuatan hingga mampu membuat komitmen yang tanggung jawab.
Kaitan proses Coaching dengan pembelajaran sosial dan emosi
Melihat kondisi sosial emosional murid melalui proses coaching akan menciptakan lingkungan belajar aman dan menyenangkan. Sikap saling percaya akan menumbuhkan rasa aman, nyaman, bagi murid dalam mengekspresikannya. Coaching membantu murid untuk berani bertanya, mencari tahu, berpendapat, mencoba, berkolaborasi, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya secara lebih optimal. Proses coaching memancing murid untuk membantu murid menemukan jati diri dan mengembangkan potensi melalui pengajaran eksplisit, terintegrasi dalam konten dan strategi terkait dengan perencanaan proses dan pelaksanaan proses pembelajaran.
Sebagai pemimpin
pembelajaran, guru menjadi pemimpin yang menaruh perhatian penuh secara sengaja
pada komponen pembelajaran, seperti kurikulum (intra, ekstra, dan ko-kurikuler), proses belajar-mengajar, refleksi dan asesmen yang otentik dan
efektif, pengembangan guru, pemberdayaan dan pelibatan komunitas yang
kesemuanya mendorong terwujudnya wellbeing (kondisi yang berpihak pada
murid) dalam ekosistem pendidikan di
sekolah. Guru menciptakan kondisi yang nyaman untuk belajar sesuai dengan
kebutuhan murid. Lingkungan belajar di sekolah memungkinkan anak untuk
mendapatkan manfaat maksimal dari belajar. Sebagai pemimpin pembelajaran, guru
berperan besar dalam membuat lingkungan sekolah yang aman, nyaman,
menyenangkan, tetapi tetap menantang, dan relevan untuk para muridnya. Orintasinya
adalah untuk kepentingan tumbuh, kembang, dan mekarnya murid.
Coaching. Tidak
terpikir sama sekali oleh saya, bahwa pembelajaran ini akan semenarik ini.
Sepengetahuan saya yang namanya Coach itu hanya terimplementasi di bidang
keolahragaan saja. Dan ternyata. Masya Allah, pembelajaran coaching ini membangunkan
saya dari pola pikir dan pembelajaran saya yang selama ini sebagai “pemberi
solusi” ke murid, ke rekan sejawat, atau ke orang lain. Sebuah paradigma
menggali potensi, kelebihan seseorang dengan umpan yang kita lempar.
Benar-benar pembelajaran yang menyenangkan. Praktik coaching yang asyik
seolah-olah saya memang benar-benar seorang coach yang dibutuhkan oleh coachee
ketika menyampaikan keluhan/masalah. Tidak mudah ternyata, saya harus banyak
referensi, pengalaman, literasi bagaimana menjadi coach yang mampu menggali
kekuatan, potensi, daya juang si coachee.
Di sekolah,
di rumah dengan tetangga tak dapat dielak ketika secara tak sadar proses
mengcoaching itu terkadang saya lakukan dengan teman yang menumpahkan
unek-uneknya. Hanya saja penyelesaiannya masih di saya, artinya coaching saya
itu bukan coaching, tetapi curhatan. Sebab saya masih terfokus pada situasinya.
Saya masih menjadi pemberi solusi, meskipun sesekali saya bertanya “Lha terus
koe pie? (Lha terus kamu bagaimana). Si coachee pun ngalir saja menjawabnya. Setelah
mempelajari modul ini, dengan paradigm dan prinsip Coaching yang dipadukan
dengan RASA dan pendekatan TIRTA, lalu praktik langsung dengan teman CGP,
mendengar secara aktif curhatan Bu Nia (coachee), bertanya dengan menyusun
pancingan yang pas untuk menggali potensi coachee itu tidak mudah. Tidak
segampang seperti ketika saya mengomentari curhatan emak-emak. Masya Allah,
ikut mengalir, ikut turut larut bersama coachee, jujur saya terkadang masih
hanyut ke cerita coachee. Dan lagi-lagi teori coaching mempertegas, fokus,
fokus, dan kembali fokus pada coachee yang akan dikembangkan. Seperti disentil
jika ingat “Maaf, ini bukan curhatan,
Bapak/Ibu…”(Pesan Bapak TriReko, Instruktur kami). Itu akan saya jadikan
dayung kuat sehingga akan mengendalikan arah ketika air sudah mengalir.
Hal baik
lain yang diperoleh dari modul 2.3 ini memberikan pembelajaran yang sangat luar
biasa bagi saya bagaimana memahami bahwa “seseorang
itu sesungguhnya memiliki daya/kekuatan, potensi, dirinya mampu sendiri untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya”. Ini adalah titik fokus
pembelajaran “Coaching” ini. Fokus pada
coachee yang harus dikembangkan, bukan pada situasinya. Menyusun pertanyaan
yang menggali ide, memancing coachee untuk menemukan alternatif itu tidaklah mudah. Ini menjadi PR bagi saya,
akhirnya saya kembali teringat dengan Tayangan “Kick Andy” di Metro
TV. Sepertinya saya harus melenggang ke sana untuk menikmati cara Andi F. Noya
mengumpan pertanyaan. Yang pasti literasi, baik buku ataupun digital.
Setelah
berpraktik menjadi Coach, saya juga belajar berkolaborasi dengan rekan CGP
dengan peran pengamat (supervisor). Sebenarnya posisinya ini lebih dari Coach,
sebab yang diamati adalah proses coachingnya. Meskipun sebagai supervisor ada
rubriknya, Bagaimana mempraktikkan saat praobservasi, lalu obserasi, dan
memberikan umpan balik (pascaobserasi). Itu bukan perkara mudah. Lagi-lagi saya
merasa masih sangat jauh dan harus banyak belajar. Seperti, membenahi berbahasa
saya agar mudah ditangkap atau dipahami oleh coach, ataupun coachee. Lalu,
mengurangi latah “/e/” yang selalu muncul di diri saya ketika berbicara.
“Ketika
praktik menjadi pengamat, saya harus menyimak (coaching Bu Nia dan Pak Zaky),
pasti sedikit grogi, sebab teman-teman CGP ini kemampuannya di atas saya.
Hihihi… Nervous deh. Namun, saya harus belajar agar bisa. Maka ketika menyimak
coaching mereka membuat saya harus benar-benar mendengarkan seksama. Mungkin
lebih dari coach yang harus mendengar aktif kali ya. Sebab saya harus belajar berbincang
dahulu sebelum praktik caching dilakukan. Lalu mengobservasi proses coaching,
dan memberikan umpan balik (pascacoaching). Dalam proses membuat
catatan-catatan saat coaching ini harus akurat sesuai data, fakta yang saya
dengan, memberikan umpan balik dengan menunjukkan hal-hal baik/positif dari si
coach (Bu Nia) yang kebetulan memang
sudah bagus menurut saya. Jadi, intinya, supervisor itu tidaklah menakutkan. Paradigma
supervisor itu menakutkan harus kita buang jauh. Di sini saya belajar
memperbaiki diri merefleksi diri untuk tidak menemukan kekurangan orang lain,
tetapi belajar bahwa orang lain itu sesungguhnya memiliki kelebihan yang harus
dimunculkan dan diberitahukan ke yang bersangkutan.
Benang merah
yang dapat saya tarik adalah Modul 2.3 membelajarkan tentang Coaching dengan
memperhatikan paradigma dan prinsip coaching, yang disandingkan melalui
pendekatan RASA dan TIRTA. Pasti kendala akan terkendali. Hambatan akan
terselesaikan. Dari siapa? dari kita sendiri. Selain itu modul ini juga
membelajarkan praktik baik bagaimana menjadi pengamat (supervisor) untuk
supervisi akademik dengan teknik coaching. Hal baru yang membuat diri saya
paham bahwa supervisi itu bukan menghakimi, bukan mengorek kekurangan. Jika
supervisor mengerti ini pasti supervisi akan nikmat. Senikmat ketika saya sudah
menyeruput kopi dengan sedikit gula.
Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP
Pembelajaran coaching untuk supervisi akademik ini benar-benar pembelajaran bagaimana saya sebagai pendidik harus berusaha menggali potensi yang dimiliki murid, rekan sejawat, atau warga sekolah ketika mereka mengalami masalah, lalu berkeluh-kesah kepada kita. Dahulu ketika kita mendengarkan apa yang teman atau murid curhatkan atau sampaikan kepada kita, maka kita akan tergesa memberikan solusi yang kita anggap terbaik. Namun, ternyata menggali potensi yang dimiliki rekan atau murid itu sendiri jauh lebih solutif ketika mereka mampu menghadapi kendala tersebut dengan solusi yang mereka temukan sendiri dengan ide kreatif yang diberdayakan. Jangan memberi tetapi bongkarlah apa yang ada pada diri murid-murid kita, sebab mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Murid-murid adalah pribadi-pribadi hebat yang dengan satu atau beberapa sentuhan maka akan terpancar kekuatan itu menjadi alternatif mereka sendiri.
Rekan
sejawat, mereka adalah penuntun yang hebat-hebat dengan kompetensi yang
dimiliki, saya pun meyakini bahwa setiap kendala yang dihadapi mereka
sesungguhnya mampu menyelesaikannya, hanya saja memang butuh teman untuk
menggalinya. Dengan pembelajaran coaching ini, insya Allah akan saya
implementasikan dalam praktik pembelajaran ketika menghadapi hambatan baik dari
murid, rekan sejawat, warga sekolah, atau lingkungan.
Lantas bagaimana keterkaitannya dengan pengalaman belajar dengan murid? Saya
mencoba terus menggali apa yang dimiliki murid saya ketika secara klasikal
dalam diskusi mereka menanyakan hal yang menjad kendala dalam memahami materi
yang diajarkan. Di sinilah saya mulai belajar menggali potensi murid dengan
memberikan pertanyaan berbobot terkait materi yang belum dipahami dengan
memberikan pertanyaan balik kepada murid-murid, lalu biasanya akan ada yang
mengusulkan bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu. Dari sinilah, saya
mencoba sesekali memancing kembali hingga murid memunculkan solusi jawaban atau
alternatif lain untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Hingga nanti mereka
akan bertanggung jawab dengan rencan aksi yang akan dilakukan dengan penuh
komitmen.
Tantangan terkait implementasi dengan konteks asal adalah hal unik dan
menarik. Budaya Jawa sering mempempengaruhi bagaimana saya mendekati, mencoba
membangun kemitraan dengan murid ataupun dengan rekan sejawat. Sementara saya
mengimplementasikan di sekolah yang notabene murid dan rekan saya beragam,
berbhineka. Terkadang saya sering keceplosan memanggil “Nduk” atau “Le” baik ke
murid atau rekan guru. Maksud saya membangun mitra agar lebih dekat, tetapi
terkadan murid saya yang asli penduduk Jambi, Pamenang, tidak pamah, dan hanya
tersenyum. Sesekali saya harus menjelaskan. Atau terkadang saya juga memberikan
kelakar Bahasa Jawa, yang membuat murid saya diam saja, padahal Bahasa yang
saya gunakan sangat lucu. Oleh karena mereka tidak paham, akhirnya saya dan
anak-anak Jawa saja yang tertawa, yang asli Jambi terdiam. Inilah yang masih
menjadi “latah”saya. Alternatif dari yang saya coba
adalah, meminta murid lain untuk mengartikan kata-kata (Jawa) yang saya
ucapkan. Secepatnya saya akan meminta maaf dan memberikan klarifikasi mengapa
saya terkadang menggunakan kata atau Bahasa Jawa agar mereka tidak salah arti.
Tantangan lain terkait dengan rekan sejawat adalah sama seperti ke murid
yaitu kebhinekaan tadi. Sekolah kami beragam suku. Maka memahami rekan dengan
hadir secara utuh saat mendengarkan keluh kesah (masalah pribadi). Saya pun
mencoba bertanya untuk menemukan apa kekuatan yang dimiliki rekan saya ini.
Meski ujungnya, rekan akan ngotot dengan solusi yang dia anggap baik (tidak
dapat diubah keputusannya) maka saya akan menanyakan siapkah dengan segala
konsekuensinya? Harapan saya dia akan benar-benar memikirkan solusi yang lebih
bijak. Lain rekan satu, lain pula rekan yang lain. Nah ini terjadi ketika kami
menjadi satu tim akreditasi, sebuah tantangan besar menghadang, ketika dua
rekan koordinator yang memegang mutu lulusan dan mutu proses pembelajaran tidak
dapat mendampingi bahkan terkesan melepaskan tanggung jawab yang diamanahkan.
Maka saya membicarakan dengan rekan sekretaris, mirip coaching. Sebab
sekretaris mengeluh dengan kelakuan dua rekan koordinator tadi. Dari solusi
yang ditawarkan rekan sekretaris (coachee) Alhamdulillah kendala tersebut
menyingkir alias terselesaikan. Intinya adalah teknik coaching dengan
kematangan dan kejernihan berpikir akan melahirkan jurus-jurus jitu yang diluar
dugaan.
Membuat Keterhubungan
Dahulu ketika murid atau rekan
berkeluh kesah menyampaikan masalah ke saya, maka respon saya berupa solusi
yang jika dipakai silahkan, tidak ya tidak masalah. Saya berpikir bahwa mereka
membutuhkan solusi dari saya. Saya cenderung mencari sisi lemah atau kurangnya murid
atau rekan. Tidak terpikir bahwa mereka memiliki potensi besar untuk mengatasi
masalah mereka sendiri. Untuk proses menyimaknya atau mendengar, sama, saya
akan mendengarkan aktif secara seksama. Saya belum memahami bahwa saya harus
menggali kekuatan apa yang dimiliki rekan atau murid saya. Saya cenderung
langsung memberikan solusi. Padahal ini tidak dibenarkan. Paradigma dan prinsip
Coaching dengan RASA dan TIRTA membuka wawasan dan cara berpikir positif saya
ke murid dan rekan, atau bahkan orang lain di sekitar saya. Coaching membuat
saya malu ketika berefleksi ke belakang, betapa saya ini apa, betapa saya
adalah seseorang yang merasa “ini lho saya” astagfirullahaladzim. Semoga murid
saya dan rekan atau orang-orang di sekitar saya memaafkan kealfaan saya.
Tak ada yang akan saya sia-kan setelah belajar di CGP ini apalagi belajar dari Modul 2.3 ini. Menghargai murid, rekan, dan orang lain dengan banyak potensi mereka, adalah langkah yang harus selekasnya saya aktualisasikan baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal saya. Insya Allah setelah memahami modul ini dari awal, praktik itu mulai berjalan meskipun lamban sebab hambatan itu sesekali saja menghadang. Praktik baik yang saya lakukan di Modul 2.2 Pembelajaran untuk Memenihu Kebutuhan Murid adalah memahami profil belajar murid dengan deferensiasi produk, maka murid-murid saya benar-benar membuat produk/tugas sesuai dengan keinginan mereka. Ada yang membuat voice note, laporan canva, upload tulisan di instagram, membuat video https://youtu.be/SKWODeF4DQ0
Praktik baik modul 2.1. Pembelajaran
Sosial-Emosional, mindfulness (https://youtu.be/UhcOpWwkh8U)
mereka murid-murid saya yang butuh kesiapan dalam belajar. Sebab kala itu secara
tidak terduga terjadi pertengkaran di luar kelas (kelas lain, bukan kelas yang
saya ajar, siang itu) dan mereka sempat melihatnya. Lalu saya mencoba melerai,
setelahnya saya kembali ke kelas, tetapi saya mencoba memusatkan perhatian
murid-murid dengan mindfulness terlebih dahulu agar mereka terfokus ke
pembelajaran bukan ke pertengkaran. Dan akhirnya mereka siap belajar.
Membaca resensi dari Buku “Leader as a Coach - Prinsip Dasar Kepemimpinan Efektif di Era Disruptif” By Rudy Efendy pada laman https://pimtar.id/books/leader-as-a-coach/8705f29281c65969970420820?page=4 membuat saya menggaris-bawahi dan menambah keyakinan dan wawasan saya bahwa Coaching membantu coachee untuk memunculkan potensi terbaik mereka dengan cara menyingkirkan hal-hal yang mengganggu seperti mental block, kurang percaya diri dan masalah psikologis lainnya. Coaching tidak hanya sebatas urusan profesional atau pekerjaan, melainkan juga urusan personal karena bisa jadi masalah personal-lah yang menghambat kinerja dan potensi mereka. (Diakses, 10 Oktober 2022). Kutipan yang saya cetak tebal akan menjadikan hal penting yang harus saya jadikan indikator mengapa coaching itu penting. Bagaimana membangun pertanyaan yang berbobot ternyata link di atas memberikan beberapa pencerahan. Yaitu dengan bottom lining (mempertegas topik/agenda), acknowledging (menyampaikan apa adanya), interrupting (menginterupsi), challenging (menantang), requesting ( meminta melakukan sesuatu), articulating (menyuarakan isi pikiran dengan jelas), reframing (membantu coachee melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda), dan methapor (menggambarkan situasi).
Akhirnya saya sedikit tambah mengerti bagaimana membuat pertanyaan berbobot itu. Simpulan akhir adalah bahwa seorang pendidik harus memiliki kemampuan leadership pada murid rekan sejawat, lingkungan. Tidak mesti hanya di perusahaan saja seorang leadership itu ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar