Senin, 03 Agustus 2020

Artikel


DARING, ANTARA POLEMIK DAN ADAPTASI
Kunti Dewi Hambawani, S.Pd, Guru SMAN 8 Merangin Kabupaten Merangin


Dahulu, slogan ini miris didengar. Dahulu, slogan ini dianggap suguhan hambar. Satu setengah tahun terakhir, dengung slogan itu menyeruak. Membawa aroma baru dalam rona pembelajaran. Status darurat digulirkan oleh BNN ketika wabah mulai merambah negara kita. PJJ, BDR, Home Schooling menjadi pilihan. Ternyata sekarang tidak hanya anak artis saja yang dapat menikmati home schooling. Semua ditawarkan sebagai alternatif terbaik. Sangat selaras dengan slogan Rumah Belajar. Belajar di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja!
Melek mata dan peka telinga adalah wujud apresiasi slogan Rumah Belajar saat pandemi Covid-19. Hanya 6% wilayah zona hijau yang dapat belajar tatap muka. Pun, masih dengan protokol kesehatan. Selebihnya daring. Iklim belajar berubah dari klasikal ke nonklasikal. Proses adaptasi harus digiatkan agar peserta didik tidak ketinggalan.
Belajar dapat dilakukan di mana saja. Artinya, tidak terbatas dalam satu ruang. Belajar dapat dilakukan kapan saja, tidak terikat waktu. Lalu, belajar dengan siapa saja tanpa ada batasan hanya dengan guru. Peserta didik dibebaskan belajar dengan ikut kelas maya seperti Ruang Guru, Quipper, Kahoot, Google Classroom dan lainnya. Sementara guru harus beralih dari pembelajaran jadul ke pembelajaran era transformasi digital. Adaptasi yang terlalu cepat ini mau tidak mau dan harus tidak harus, dilakukan oleh guru. Nyatanya, guru berhasil mengikuti perubahan itu. Terobosan untuk generasi Z tanpa gagap teknologi.
Salah satu kelebihan pembelajaran daring adalah dapat di-replay. Artinya dapat disimak, dibuka,  atau ditonton ulang. Kapan saja, di mana saja sebab tersimpan di net. Tanpa butuh waktu panjang dan tenaga. Jika guru mahir menggunakan platform pembelajaran yang beragam akan membangkitkan semangat peserta didik. Sementara tatap muka, jika diulang terkadang waktu tidak tercukupi, guru kelelahan, dan peserta didik menjadi bosan.
Daring, menuntut pendidik untuk menjadi "pendamping generasi Z". Ini harus! Agar tak kalah pintar. Alhasil, sekarang guru mulai berkencan dengan fitur-fitur (apk) pembelajaran, kelas online guru, dan diklat online. Untuk mengatasi masalah mehong-nya (mahalnya) kuota, guru dapat menyiasati dengan memanfaatkan kuota gratis yang disediakan provider di masa pandemi ini. Keren bukan? Tiga faedah daring tersebut benar-benar terasa sekarang. Jangan lupa, pesan bijak berteknologi diselipkan disela-sela pembelajaran daring.
Sisi yang menjadi ganjalan daring adalah tingkat ekonomi orang tua. Kendala ini benar terjadi. Menilik bawasannya peserta didik berasal dari latar belakang ekonomi yang beragam, ternyata masih ada beberapa peserta didik yang belum memiliki gawai bahkan "hp black senter" sekalipun. Guru dan sekolah pun tak dapat menuntut. Akhirnya, mereka akan tertinggal meskipun dapat meminjam teman, tetangga, dan kerabat yang disinyalir menjadi solusi sementara.
Lain tidak memiliki gawai, lain pula tidak memiliki kuota. Sebuah dilema, saat orang tua harus mengasapi dapur di masa sulit ini, mereka pun dituntut untuk mengasapi gawai beberapa giga. Meski para provider menyediakan free access untuk fitur tertentu. Terkadang pula peserta didik harus nge-yutub untuk mengakses materi tertentu, dengan harus membeli paket data yang tidak murah. Provider yang mampu membabat hutan pelosok, paket datanya sangat mahal. Sementara, provider yang unlimited, meruah di kota-kota besar⸻yang apabila digunakan di desa⸻lola (loading lambat). Apes! Apakah Covid yang harus disalahkan? Ataukah kita yang harus cepat tanggap dan ligat?
Mirisnya lagi yang menjadi kegalauan para guru adalah tingkat kepercayaan dan kejujuran peserta didik saat mengerjakan ujian. Baik PH atau PAS. Kecurangan saat tatap muka saja sering terjadi apalagi daring yang tanpa pengawasan. Lagi-lagi, tuntutan peran orang tua dalam membangun kejujuran putra-putrinya sangat dibutuhkan. Pendidik terus mengontrol dengan mengingatkan, orang tua dengan pengawasan.
Terakhir, sepintar-pintarnya teknologi, ternyata tidak dapat menggantikan hubungan habluminnanas antara guru dan peserta didiknya. Kedekatan, keakraban, sikap asah, asih, dan asuh tidak dipunyai benda mati Si Gawai. Semoga Covid lekas bergegas, lalu daring dan luring dapat bergandeng tangan. Seperti secangkir kopi menemani saat bergulat ide di KMA. Saling memberi kenikmatan.  










PROFIL





Kunti Dewi Hambawani, tak ingin dieluk-elukkan, tak ingin dikatakan wah, tak ingin dikatakan  itu lho si anu. Namun, menjadi seorang guru penulis yang ing ngarso sung tulodho bagi peserta didiknya adalah sesercah harap. Harap  yang selalu memecut untuk terus menulis. Menganggap bahwa menulis adalah perkara sepele itu adalah masalah besar, sebab menulis tanpa memahami apa yang ditulis, sama saja garing. Membaca adalah kekasih menulis. Dua sejoli yang tak dapat direnggangkan. Giat berliterasi memperkaya diksi.

2 komentar:

Artikel Sastra

Kalian dalam Sebuah Episode