DARING,
ANTARA POLEMIK DAN ADAPTASI
Kunti
Dewi Hambawani, S.Pd, Guru SMAN 8 Merangin Kabupaten Merangin
Dahulu, slogan ini miris didengar. Dahulu, slogan ini
dianggap suguhan hambar. Satu setengah tahun terakhir, dengung slogan itu
menyeruak. Membawa aroma baru dalam rona pembelajaran. Status darurat
digulirkan oleh BNN ketika wabah mulai merambah negara kita. PJJ, BDR, Home Schooling menjadi pilihan. Ternyata sekarang tidak hanya anak
artis saja yang dapat menikmati home
schooling. Semua ditawarkan sebagai alternatif terbaik. Sangat selaras
dengan slogan Rumah Belajar. Belajar di mana saja,
kapan saja, dengan siapa saja!
Melek
mata dan peka telinga adalah wujud apresiasi slogan Rumah Belajar saat pandemi
Covid-19. Hanya 6% wilayah
zona hijau yang dapat belajar tatap muka. Pun, masih dengan protokol kesehatan.
Selebihnya daring. Iklim belajar berubah dari klasikal ke nonklasikal.
Proses adaptasi harus digiatkan agar peserta didik tidak ketinggalan.
Belajar
dapat dilakukan di mana saja. Artinya, tidak terbatas dalam satu ruang. Belajar
dapat dilakukan kapan saja, tidak terikat waktu. Lalu, belajar dengan siapa
saja tanpa ada batasan hanya dengan guru. Peserta didik dibebaskan belajar
dengan ikut
kelas maya seperti Ruang Guru, Quipper,
Kahoot, Google Classroom dan lainnya. Sementara guru harus beralih dari pembelajaran jadul ke pembelajaran era transformasi digital.
Adaptasi yang terlalu cepat ini mau tidak mau dan harus tidak harus, dilakukan
oleh guru. Nyatanya, guru berhasil mengikuti perubahan itu. Terobosan untuk generasi Z
tanpa gagap
teknologi.
Salah satu kelebihan pembelajaran daring adalah dapat di-replay. Artinya dapat disimak,
dibuka, atau ditonton ulang. Kapan saja, di mana
saja sebab
tersimpan di net. Tanpa butuh waktu panjang dan tenaga. Jika guru
mahir menggunakan platform pembelajaran yang beragam akan membangkitkan
semangat peserta didik. Sementara
tatap muka, jika diulang terkadang waktu tidak tercukupi, guru kelelahan, dan
peserta didik menjadi bosan.
Daring,
menuntut pendidik untuk menjadi "pendamping generasi Z". Ini harus! Agar
tak kalah pintar. Alhasil, sekarang guru mulai berkencan dengan fitur-fitur
(apk) pembelajaran, kelas online guru, dan diklat
online. Untuk mengatasi masalah mehong-nya
(mahalnya) kuota, guru dapat menyiasati dengan memanfaatkan kuota gratis yang
disediakan provider di masa pandemi ini. Keren bukan? Tiga faedah daring tersebut benar-benar
terasa sekarang. Jangan lupa, pesan bijak berteknologi diselipkan disela-sela
pembelajaran daring.
Sisi
yang menjadi ganjalan
daring adalah tingkat ekonomi orang tua. Kendala ini benar terjadi. Menilik
bawasannya peserta didik berasal
dari latar belakang ekonomi yang beragam, ternyata masih ada beberapa peserta didik
yang belum memiliki gawai bahkan "hp
black senter" sekalipun. Guru dan sekolah pun tak
dapat menuntut. Akhirnya,
mereka akan tertinggal meskipun dapat meminjam teman, tetangga, dan kerabat yang
disinyalir menjadi solusi sementara.
Lain tidak memiliki gawai, lain pula tidak memiliki
kuota. Sebuah dilema, saat orang tua harus mengasapi dapur di masa sulit ini,
mereka pun dituntut untuk mengasapi gawai beberapa giga. Meski para provider
menyediakan free access untuk fitur
tertentu. Terkadang pula peserta didik harus nge-yutub untuk mengakses materi tertentu, dengan harus membeli paket data yang tidak
murah. Provider yang
mampu membabat hutan pelosok, paket datanya sangat mahal. Sementara, provider yang unlimited, meruah di kota-kota besar⸻yang
apabila digunakan di desa⸻lola (loading lambat). Apes! Apakah Covid yang
harus disalahkan? Ataukah kita yang harus cepat tanggap dan ligat?
Mirisnya lagi yang menjadi kegalauan para guru adalah
tingkat kepercayaan dan kejujuran peserta didik saat mengerjakan ujian. Baik PH
atau PAS. Kecurangan saat tatap muka saja sering terjadi apalagi daring yang
tanpa pengawasan. Lagi-lagi, tuntutan peran orang tua dalam membangun kejujuran
putra-putrinya sangat dibutuhkan. Pendidik terus mengontrol dengan mengingatkan,
orang tua dengan pengawasan.
Terakhir,
sepintar-pintarnya teknologi, ternyata tidak dapat menggantikan hubungan habluminnanas antara guru dan peserta
didiknya.
Kedekatan, keakraban, sikap asah, asih, dan asuh tidak dipunyai benda
mati Si Gawai.
Semoga Covid lekas bergegas, lalu daring dan luring dapat bergandeng tangan.
Seperti secangkir kopi menemani saat bergulat ide di KMA. Saling
memberi kenikmatan.
PROFIL
Kunti Dewi Hambawani, tak ingin dieluk-elukkan, tak ingin dikatakan wah, tak ingin dikatakan itu lho si anu. Namun, menjadi seorang guru penulis yang ing ngarso sung tulodho bagi peserta didiknya adalah sesercah harap. Harap yang selalu memecut untuk terus menulis. Menganggap bahwa menulis adalah perkara sepele itu adalah masalah besar, sebab menulis tanpa memahami apa yang ditulis, sama saja garing. Membaca adalah kekasih menulis. Dua sejoli yang tak dapat direnggangkan. Giat berliterasi memperkaya diksi.
Kabar kabari sastra
BalasHapusinsya Allah, mari berbagi
Hapus